masukkan script iklan disini
Media DNN - Jatim | Sejak tahun 2020, IPEN (International Pollutants Elimination Network) bersama Indowatercop dan ECOTON dari Indonesia serta 12 Negara meliputi Argentina, Cameroon, India, Malaysia, Mauritius, Nepal, Nigeria, Serbia, Taiwan, Tanzania, Thailand, Togo memulai studi global tentang bahan kimia berbahaya dalam pelet plastik daur ulang.
Tujuan dari proyek yang digelar pada hari Selasa 23 sampai 24 tahun 2024 ini adalah untuk meningkatkan kesadaran global tentang bahan kimia berbahaya dalam plastik daur ulang yang digunakan untuk produk konsumen.
Dimana setiap negara mengunjungi fasilitas daur ulang lokal berskala kecil dan membeli kantong pelet High-Density Polyethylene (HDPE) daur ulang, yang mana jenis plastik ini dipilih karena merupakan salah satu jenis plastik yang paling banyak digunakan dan didaur ulang. Sementara 28 sampel pelet dari 13 negara tersebut diteliti oleh ilmuwan dari Swedia, Jerman dan Denmark untuk analisis yang lebih luas mengenai kandungan kimia pelet plastik daur ulang.
Plastik tersebut dibuat dengan 16.000 bahan kimia, setidaknya 25% di antaranya diketahui beracun, dan sebagian besar bahan kimia lainnya tidak memiliki informasi mengenai dampaknya terhadap kesehatan manusia atau lingkungan.
Selain itu, plastik daur ulang juga dapat mengandung kontaminan kimia dari cara penggunaan plastik aslinya. Misalnya, jika wadah pestisida plastik didaur ulang, pestisida beracun dapat berakhir di bahan daur ulang.
Adapun data yang baru-baru ini diterbitkan dari 13 negara termasuk Indonesia mengindentifikasi hampir 500 bahan kimia dalam pelet plastik daur ulang merupakan jenis pestisida, bahan kimia industri, PCB, dan zat beracun lainnya.
Sementara saat ini diketahui terdapat 2 sampel pelet plastik daur ulang berasal dari pabrik daur ulang plastik di Indonesia, tepatnya di Jawa Timur.
Diungkapknya bahwa sebanyak 346 bahan kimia terdeteksi dalam gabungan 2 sampel. Sampel pertama (IDN_01Y) terdeteksi sebanyak 184 bahan kimia, sampel kedua (IDN_02N) terdeteksi sebanyak 162 bahan kimia, dan 138 bahan kimia dari jumlah tersebut terdeteksi di kedua sampel terdapat top 30 bahan kimia yang memiliki konsentrasi paling tinggi pada setiap sampel (terlampir), dan sepertiganya merupakan zat bioaktif termasuk pestisida klopirifos (pestisida golongan organofosfat) dan obat-obatan.
Adapun yang senyawa dengan racun plastik yang bersifat bioakumulatif yaitu memiliki kemampuan untuk menumpuk dalam jaringan organisme hidup seiring waktu, terutama dalam rantai makanan. Ini berarti organisme yang lebih tinggi dalam rantai makanan, seperti predator puncak, dapat mengakumulasi konsentrasi senyawa ini yang lebih tinggi dari yang terdapat dalam makanannya.
Beberapa senyawa meliputi PCBs, DDT, dan beberapa pestisida organoklorin lainnya. Selain itu juga bersifat Persistent Organic Pollutants (POPs) yaitu dapat bertahan dalam lingkungan untuk waktu yang lama setelah mereka dilepaskan. Senyawa ini dapat tersebar luas melalui udara, air, dan tanah, dan dapat menyebar ke daerah yang jauh dari tempat asal mereka. Contohnya PCBs, DDT, dan beberapa pestisida organoklorin.
“Senyawa racun plastik menyebabkan dampak kesehatan yaitu memiliki kemampuan untuk mengganggu sistem endokrin pada organisme hidup, termasuk manusia dan hewan. Senyawa ini dapat mengganggu fungsi normal hormon dalam tubuh, termasuk gangguan perkembangan reproduksi, gangguan hormonal, dan peningkatan risiko penyakit seperti kanker, penyakit jantung, diabetes, obesitas, dan kondisi kesehatan serius lainnya”. ungkap Dr. Daru Setyorini selaku Direktur Eksekutif ECOTON Foundation
Amiruddin Muttaqin, M.Si selaku anggota dari Indowatercop menjelaskan bahwa “Mendaur ulang plastik tidak akan menyelesaikan masalah sampah plastik, justru akan menambah permasalahan polusi plastik. Sudah banyak penelitian membuktikan bahwa daur ulang plastik menjadi vektor penyebaran bahan kimia beracun, dan proses daur ulang plastik dapat menghasilkan zat racun baru, sehingga menambah lebih banyak bahan kimia pada plastik daur ulang.
Saat ini, tidak ada persyaratan internasional untuk memantau bahan kimia dalam plastik daur ulang atau membuat kandungan kimia dalam bahan dan produk plastik tersedia dan dapat diakses oleh publik. Artinya, penyebaran bahan kimia dari plastik daur ulang saat ini tidak dapat dilacak dan dikendalikan. Pengendalian internasional diperlukan karena meluasnya perdagangan internasional bahan kimia, plastik, dan sampah plastik.
Lebih lanjut Dr. Daru Setyorini mengingat bahwa pencemaran senyawa racun plastik adalah masalah yang sangat serius karena sudah menganggu kesehatan tubuh dan lingkungan, maka persoalan tersebut perlu dibahas dalam perjanjian plastik secara global untuk mengendalikan proses produksi dan konsumsi plastik. Salah satu nya yang dilakukan bulan ini adalah pada INC-4 yang dilakukan di Ottawa, Kanada. Pemerintah Indonesia juga ikut andil dalam INC ini untuk membahas peraturan perjanjian plastik secara global.
INC (Intergovermental Negotiating Committee) sendiri merupakan sebuah komite yang terdiri dari perwakilan pemerintah dari berbagai negara di bawah PBB yang bertujuan untuk bernegosiasi dan mencapai kesepakatan terkait isu-isu tertentu. INC ini merupakan hasil dari Resolusi United Nations Environment Assembly (UNEA) 5/14 pada Maret 2022 yang berjudul End Plastic Pollution: Towards And International Legally Binding Instrument. Resolusi UNEA 5/14 tersebut memandatkan pembentukan INC untuk memulai penyusunan dan pembahasan perjanjian internasional tentang plastik pada pertengahan 2022 hingga akhir 2024.
Dan ia berharap dalam INC-4 ini dapat menghasilkan upaya untuk mengendalikan permasalahan sampah plastik, meliputi :
1. Memprioritaskan pengurangan produksi plastik sekali pakai
2. Mengakhiri impor sampah plastik ke Asia Tenggara dan kolonialisme sampah
3. Mengurangi zat aditif beracun dan mengendalikan timbulnya mikroplastik
4. Melabeli bahan berbahaya yang digunakan dalam proses produksi plastik
5. Memprioritaskan guna ulang (Reuse) dan isi ulang (Refill)
6. Menolak daur ulang dengan teknologi pembakaran atau solusi palsu
7. Mencegah pengganti plastik dari bahan-bahan biodegradable karena akan mempercepat timbulnya mikroplastik
8. Menerapkan EPR (Extended Producer Responsibility) yang lebih luas dan juga prinsip “mencemar membayar”
9. Menjunjung tinggi hak asasi manusia dengan memberikan keadilan sosial bagi semua orang yang terkena dampak polusi plastik
10. Harus segera melakukan rehabilitasi ekosistem sungai, laut, udara dan bumi yang sudah tercemar plastik dan pemulihan kesehatan manusia yang tercemar mikroplastik dan bahan aditif plastik. (Asep)