masukkan script iklan disini
Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Gunungkidul, Oneng Windu Wardana, menyatakan bahwa putus kontrak ini diambil setelah rekanan gagal memenuhi tanggung jawab mereka meskipun telah diberi perpanjangan waktu 27 hari disertai denda. “Kami sudah memberikan kesempatan tambahan, tetapi rekanan tetap tidak mampu menyelesaikan proyek. Langkah putus kontrak kami ambil demi menjaga akuntabilitas anggaran,” jelas Oneng Windu, Senin (14/01/2025).
Namun, keputusan ini menyoroti lemahnya sistem pengawasan. Bagaimana mungkin proyek sebesar ini, yang begitu penting bagi pengembangan pariwisata daerah, dibiarkan terbengkalai hingga mencapai tahap krisis? Seorang pengamat kebijakan publik mengkritik, “Ini bukan sekadar kegagalan rekanan, tetapi kegagalan pengawasan yang seharusnya bisa mencegah situasi ini sejak dini.”
Proyek ini seharusnya menjadi penggerak utama dalam meningkatkan daya tarik wisata Nglanggeran. Namun, dengan terhentinya pembangunan, potensi pemasukan daerah dari sektor pariwisata ikut terganggu. Infrastruktur yang tidak memadai akan menghalangi kedatangan wisatawan, yang pada akhirnya merugikan masyarakat sekitar yang bergantung pada sektor ini untuk penghasilan mereka.
“Setiap hari penundaan adalah kerugian bagi masyarakat. Ini tidak hanya tentang angka, tetapi juga tentang kehidupan banyak orang yang menggantungkan hidup pada wisatawan yang datang,” tegas seorang tokoh masyarakat setempat.
Kontraktor yang terlibat kini berada di bawah sorotan tajam publik. Kegagalan mereka menyelesaikan proyek menimbulkan pertanyaan tentang kelayakan mereka dalam menjalankan proyek berskala besar. Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Gunungkidul juga tidak luput dari kritik karena dianggap lalai dalam memilih rekanan dan mengawasi jalannya proyek.
“Kami butuh transparansi penuh dari Pemda. Bagaimana rekanan seperti ini bisa lolos dan diberi tanggung jawab sebesar ini? Ada yang salah dalam proses seleksi dan pengawasan,” ujar seorang warga yang geram dengan situasi ini.
Sebagai langkah ke depan, Dinas Pariwisata berencana melakukan redesain dan tender ulang untuk menyelesaikan proyek ini. Namun, masyarakat menuntut evaluasi menyeluruh dan reformasi dalam sistem pengawasan proyek. “Dana Keistimewaan seharusnya digunakan untuk kemajuan, bukan menjadi sumber kerugian. Pemda harus belajar dari kegagalan ini dan memastikan tidak ada lagi proyek yang terbengkalai,” tambah seorang pengamat pembangunan daerah.
Kegagalan proyek ini adalah cermin dari manajemen yang buruk dan pengawasan yang lemah, yang pada akhirnya menempatkan beban berat pada masyarakat. Untuk ke depan, transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan ketat menjadi tuntutan utama agar Dana Keistimewaan benar-benar memberikan manfaat nyata bagi masyarakat Gunungkidul.
(Bayu)